ULAMA AS-SALAF DALAM RASA TAKUT DAN
MENGINGAT ALLAH
Sebelum kisahnya saya jelaskan dulu apasih salaf?
Definisi Salaf (السَّلَفُ)
Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( اَلسَّلَفُ ) artinya yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama.[1] Salaf berarti para pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.[2]
Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.
“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”[3]
Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan menegak-kan agama-Nya…”[4]
Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al-‘Aqiidatul Islamiyyah bainas Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-pent.). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi Al-Qur-an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Ta-bi’in dan Tabi’ut Tabi’in.[5]
Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara bid’ah, akan tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang syar’i karena menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyuun karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Sahabat dan Tabi’ut Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka ini disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf. Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem hidup dalam ber-‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap Muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.[6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H)[7] berkata: “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” [8]
Kisah:
Dari Ibnu Mas’ud diriwayatkan bahwa ia
pernah berkata ketika sedang duduk-duduk (yang terjemahannya - pen)
:
“Sesungguhnya kamu sekalian berada di tengah perjalanan siang dan malam,
di tengah lingkaran ajal yang terbatas, di tengah amal perbuatan yang selalu
terpantau, sementara kematian datang dengan tiba-tiba. Barangsiapa yang menanam
kebajikan, niscaya ia akan menuai kebahagiaan, barangsiapa yang menanam
kejahatan, niscaya ia akan menuai penyesalan. Setiap orang yang bercocok tanam,
akan menuai yang setimpal dengan apa yang ditanamnya. Orang yang lambat, tidak
akan mendahului orang lain mengambil bagiannya. Demikian juga orang yang
bernafsu, tidak akan memperoleh sesuatu yang tidak ditakdirkan baginya. Siapa
saja yang mendapat kebaikan, Allah-lah yang memberikan kebaikan itu kepadanya.
Siapa saja yang selamat dari bahaya, Allah-lah yang memelihara dirinya dari
bahaya tersebut. Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang terhormat dan ahli
fiqih adalah para pembimbing umat. Duduk-duduk (belajar) bersama dengan mereka
adalah keutamaan.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ I : 497)
Dari al-Fasawi diriwayatkan bahwa ia berkata (yang terjemahannya -
pen): “Abul Yaman telah menceritakan kepada kami, dari Jarir bin Utsman, dari
Abul Hasan Imran bin Nimraan, bahwa Abu Ubaidah pernah berjalan di tengah laskar
kaum muslimin, beliau berkata : “Berapa banyak orang yang menjaga kesucian
pakaiannya, tapi justru mengotori agamanya ! Ingatlah, berapa banyak orang yang
merasa memuliakan dirinya sendiri, tetapi justru menghinakannya ! Segeralah
mengganti kejahatan-kejahatan lamamu dengan kebajikan-kebajikan yang baru.”
(Siyaru A’laamin Nubalaa’ I : 18)
Dari Ibnu Syaudzab diriwayatkan bahwa ia berkata (yang
terjemahannya - pen) : “Tatkala Abu Hurairah berada di ambang kematian,
tiba-tiba beliau menangis. Orang-orang bertanya : “Apa yang membuatmu menangis
?” Beliau menjawab : “Jauhnya perjalanan, sedikitnya perbekalan dan banyaknya
aral rintangan. Sementara tempat kembali, bisa ke jannah (surga-pen),
bisa juga ke naar (neraka-pen).” (Shifatush Shafwah I : 694)
Dari Ubaidillah bin As-Sirri diriwayatkan bahwa ia berkata (yang
terjemahannya - pen) : “Ibnu Sirin pernah berkata : “Aku sungguh mengetahui
penyebab utang yang kini melilitku. Aku pernah mengejek seorang lelaki sekitar
empat puluh tahun yang silam : “Wahai orang yang bangkrut (pailit).” Maka
aku (Ubaidillah bin As-Sirri) menceritakan hal itu kepada Abu Sulaiman
Ad-Darani. Maka beliau menanggapi : “Dosa-dosa mereka (para salaf) sedikit,
karenanya mereka tahu dari mana datang kepada mereka dosa-dosa itu. Sementara
dosa-dosa kita banyak, namun kita tidak tahu dari mana dosa-dosa itu mendatangi
kita.” (Shifatush Shafwah III : 246)
Dari Abdullah bin Abdurrahman bin Yazid bin Jabir diriwayatkan
bahwa ia berkata (yang terjemahannya - pen) : “Pamanku Yazid bin Yazid bin Jabir
telah menceritakan kepada kami, dari Atha’ Al-Kharasani, bahwa ia berkata : “Aku
tidak mewasiatkan kepada kamu sekalian untuk urusan dunia. Untuk urusan itu,
kamu sekalian telah banyak mendapatkan wejangan, dan kalian sendiri bernafsu
mendapatkannya. Yang aku wasiatkan kepada kalian adalah urusan akhirat kalian.
Ambillah bekal dari dunia yang fana ini untuk akhirat yang abadi. Jadikanlah
dunia ini seperti sesuatu yang sudah kamu tinggalkan. Dan demi Allah, kamu
memang pasti akan meninggalkannya. Dan jadikanlah kematian itu seperti sesuatu
yang telah kamu rasakan. Dan demi Allah, kamu memang akan merasakannya.
Jadikanlah akhirat itu seperti tempat yang telah kamu singgahi. Dan demi Allah,
kamu memang akan singgah di sana. Ia (akhirat) adalah kampung halaman setiap
manusia.
Dan tak seorangpun yang keluar bepergian tanpa mempersiapkannya
bekalnya. Orang yang mempersiapkan bekal yang berguna buat dirinya, ia akan
bahagia. Sedangkan orang yang keluar bepergian tanpa mempersiapkan bekal, ia
akan menyesal. Kalau ia kepanasan, ia tak akan mendapatkan tempat berteduh.
Kalau ia kehausan, tak akan mendapatkan air pelepas dahaga. Sesungguhnya
perjalanan dunia ini pasti berakhir. Orang yang paling pandai adalah yang selalu
bersiap-siap untuk perjalanan yang tidak ada akhirnya.” (Shifatush Shafwah IV
: 151)
Dari Qabishah bin Qais al-Anbari diriwayatkan bahwa ia berkata
(yang terjemahannya - pen) : “Adh-Dhahhak bin Muzahim apabila datang sore hari
beliau menangis. Ada orang yang bertanya : “Apa gerangan yang membuatmu menangis
?” Beliau menjawab : “Aku tidak tahu, amalanku yang mana yang naik ke langit
(diterima Allah) pada hari ini.” (Shifatush Shafwah IV : 150)
Dari Kinanah bin Jibillah As-Sullami diriwayatkan bahwa ia berkata
(yang terjemahannya - pen) : “Bakar bin Abdullah berkata : “Apabila engkau
melihat orang yang lebih tua umurnya darimu, katakanlah : “Orang ini sudah
mendahuluiku dalam beriman dan beramal shalih, ia tentu lebih baik dariku.”
Apabila engkau melihat orang yang lebih muda umurnya darimu katakanlah : “Aku
telah mendahuluinya berbuat dosa dan kemaksiatan, tentu ia lebih baik dariku.”
Dan apabila engkau melihat sahabat-sahabatmu menghormati dan memuliakanmu, maka
katakanlah : “Ini adalah keutamaan yang akan diperhitungkan nanti.” Kalau engkau
melihat mereka kurang menghormatimu, maka katakanlah : “Ini adalah akibat dosa
yang kuperbuat sendiri.” (Shifatush Shafwah III : 248)
Dari Qasim bin Muhammad diriwayatkan bahwa ia berkata (yang
terjemahannya - pen) : “Kami pernah bepergian bersama Ibnul Mubarak. Seringkali
terlintas dalam benakku : “Mengapa gerangan lelaki ini diutamakan atas diri
kami, sehingga ia demikian terkenal di khalayak ramai ? Kalau dia shalat, kami
juga shalat, kalau dia bershiyam (berpuasa-pen), kami juga shiyam, kalau dia
berjihad, kami juga berjihad, kalau dia berhaji, kami juga berhaji ?” (Al-Qasim)
melanjutkan : “ditengah perjalanan kami, yaitu ketika kami sampai di negeri Syam
pada suatu malam, kami makan malam di sebuah rumah, tiba-tiba lampu padam. Maka
salah seorang di antara kami segera mengambil lampu [atau diriwayatkan dia
keluar mencari sesuatu untuk menyalakan lampu beberapa saat, kemudian datang
dengan membawa lampu]. Tiba-tiba kulihat wajah dan jenggot Ibnul Mubarak sudah
ditetesi air mata.” Aku berkata dalam diriku sendiri : “Karena rasa takut
(ketakwaan) inilah lelaki ini diutamakan atas kami. Barangkali ketika lampu
padam, keadaan menjadi gelap, ia teringat dengan Hari Kiamat.” (Shifatush
Shafwah IV : 145)
Dari al-Marruzi diriwayatkan bahwa ia berkata (yang terjemahannya
- pen) : “Aku pernah bertanya kepada Imam Ahmad : “Bagaimana keadaan anda pagi
hari ini ?” Beliau menjawab : “Bagaimana kira-kira keadaan seorang hamba di pagi
hari, dimana Rabb-nya menuntut dirinya untuk melaksanakan berbagai kewajiban,
nabinya menuntut dirinya untuk menjalankan As-Sunnah, sementara dua malaikat
menuntut dirinya untuk beramal dengan benar. Di sisi lain, jiwanya menuntut
dirinya untuk memperturutkan hawa nafsu, dan iblis menuntut untuk melakukan
perbuatan keji, sedangkan malaikat maut terus memantau dirinya untuk mencabut
ruhnya, sementara keluarganya menuntut darinya mencari nafkah ?” (Siyaru
A’laamin Nubalaa’ XI : 227)
Dari Ibnu Khubaiq diriwayatkan bahwa ia berkata (yang
terjemahannya - pen) : “Hudzaifah Al-Mur’isyi pernah berkata kepadaku : “Cuma
ada empat hal (yang paling vital) pada dirimu yaitu : dua matamu, lidahmu, hawa
nafsumu dan hatimu. Perhatikan kedua matamu, jangan sampai ia melihat yang
diharamkan Allah. Perhatikan lidahmu, jangan sampai ia mengucapkan sesuatu yang
Allah tahu bahwa yang ada di dalam hatimu adalah kebalikannya. Perhatikan
hatimu, jangan sampai ada rasa dengki dan kebencian terhadap sesama muslim.
Perhatikan juga hawa nafsumu, jangan biarkan ia terumbar. Bila (terpeliharanya)
empat perkara ini belum menjadi milikmu, maka kepalamu akan menjadi umpan abu.”
(Shifatush Shafwah IV : 268)
Al Qadhi Husain meriwayatkan dari gurunya Al Qaffal, bahwa
seringkali sang guru menangis ketika tengah mengajar, kemudian setelah itu
beliau mengangkat kepalanya seraya berkata (yang terjemahannya - pen) :
“Alangkah lalainya kita terhadap apa yang diwajibkan atas diri kita.” (Siyaru
A’laamin Nubalaa’ 17:407)
Dari Mukhawwal diriwayatkan bahwa ia berkata (yang terjemahannya -
pen) : “Bahim al Ajali pernah datang kepada saya suatu hari dan berkata :
“Apakah engkau mengenal seseorang diantara tetanggamu atau saudaramu yang engkau
sukai, yang berkeinginan melaksanakan haji untuk dapat menemaniku ?” Aku
menjawab : “Ada” Aku segera menemui seorang lelaki yang shalih dan baik
akhlaknya, lalu keduanya kupertemukan. Merekapun bersepakat untuk pergi haji
bersama. Kemudian Bahim pulang menemui istrinya. Beberapa saat kemudian (sebelum
pergi), si lelaki menemuiku dan berkata : “Wahai saudaraku ! Betapa senangnya
aku jika kamu menjauhkan shahabatmu itu dariku ! Hendaknya ia mencari teman
seperjalanan yang lain saja.” Aku bertanya : “Mengapa demikian ? Sungguh aku
tidak melihat orang yang setara dengannya di kota Kufah ini dalam kebagusan
akhlak dan perangainya. Aku pernah berlayar bersamanya, dan yang kulihat darinya
hanyalah kebaikan.” Lelaki itu menjawab : “Celakalah kamu, setahuku, ia ini
orang yang banyak menangis, hampir tak pernah berhenti tangisnya. Hal itu akan
menyusahkan kami sepanjang perjalanan.” Aku menanggapi : “Engkaulah yang celaka,
terkadang tangisan itu datang tidak lain hanyalah dari mengingat Allah. Yakni,
hati seseorang itu melembut, sehingga ia menangis. Bukankah kadangkala engkau
juga menangis ?” Lelaki itu menjawab : “Memang benar. Tetapi kudengar, terkadang
ia menangis kelewatan sekali.” Aku berkata : “Temanilah dirinya. Semoga kamu
bisa mengambil manfaat darinya.” Ia berkata : “Aku akan shalat istikharah
terlebih dahulu !”
Tepat pada hari keberangkatan mereka berdua, onta telah
didatangkan dan dipersiapkan. Tiba-tiba Bahim duduk di bawah pohon sambil
meletakkan tangannya di bawah janggutnya dan air matapun menetes di kedua belah
pipinya, lalu turun membasahi dadanya, sampai-sampai –demi Allah- kulihat air
matanya membasahi bumi.”
Lelaki itu berkata : “Lihatlah, belum apa-apa shahabatmu itu sudah
mulai menangis. Orang seperti itu tak pantas menjadi temanku.” “Temani saja
dirinya.” Pintaku. “Barangkali dia teringat keluarganya dan kala ia berpisah
dengan mereka, sehingga ia bersedih.” Namun ternyata Bahim mendengar pembicaraan
kami dan menanggapi : “Bukan begitu persoalannya. Aku semata-mata hanya teringat
dengan perjalanan ke akhirat.” Mukhawwal melanjutkan : “Maka suara beliaupun
melengking karena tangisan.”
Ia melanjutkan : “Temanku berkomentar : “Demi Allah, janganlah ini
menjadi awal permusuhan dan kebencian dirimu terhadapku. Tak ada hubungan antara
aku dengan Bahim. Hanya saja, ada baiknya engkau mempertemukan antara Bahim
dengan Dawud Ath-Tha-i dan Sallaam Abul Ahwash 1)
agar mereka saling membuat yang lainnya menangis hingga mereka puas, atau
meninggal dunia bersama-sama.”
Lelaki itu berkata : “Aku terus saja menemaninya dan berkata dalam
hati : “Susah nian, mudah-mudahan ini menjadi perjalananku yang terbaik.” Perawi
menyebutkan : “Lelaki itu orang yang menyukai perjalanan panjang untuk berhaji,
lelaki yang shalih, namun di samping itu ia juga pedagang kaya raya yang rajin
bekerja; bukan orang yang mudah bersedih dan menangis.” Perawi menyebutkan :
“Lelaki itu berkata : “Sekali inilah hal itu terjadi pada diriku, dan
mudah-mudahan bermanfaat.”
Mukhawwal menyebutkan : “Bahim tidak mengetahui sedikit pun
tentang hal itu. Kalau ia mengetahui sedikit saja, niscaya ia tak pergi bersama
lelaki itu.”
Mukhawwal melanjutkan : “Maka merekapun berangkat berdua hingga
melaksanakan haji dan pulang kembali. Masing-masing dari keduanya begitu akrab
sampai-sampai tidak menyadari bahwa mereka memiliki saudara lain selain shahabat
yang menemaninya. Setelah tiba, aku mengucapkan salam kepada lelaki tetanggaku
itu. Iapun berkata : “Semoga Allah memberimu pahala kebajikan atas saranmu
kepadaku. Tak kusangka, bahwa di antara manusia sekarang ini ada juga yang
seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Demi Allah, ia membiayai kebutuhanku, sementara
ia orang miskin, aku justru orang kaya. Beliau sudi melayani diriku, padahal
beliau sudah tua dan lemah sedangkan aku masih muda dan kuat. Beliau juga
memasak untukku, padahal beliau bershaum sementara aku tidak.” Mukhawwal
bertanya : “Bagaimana soal tangisan panjangnya yang tidak engkau sukai ?” Lelaki
itu menjawab : “Akhirnya aku terbiasa dengan tangisan itu. Demi Allah, hatiku
merasa senang, sampai-sampai aku pun turut menangis bersamanya, sehingga
orang-orang yang bersama kami merasa terganggu. Namun demikian –demi Allah-,
mereka pun akhirnya terbiasa. Mereka juga turut menangis, bila kami berdua
menangis. Sebagian mereka bertanya kepada sebagian yang lain : “Kenapa mereka
lebih mudah menangis dari pada kita, padahal jalan hidup kita dan mereka sama ?”
Mereka pun akhirnya menangis, sebagaimana kami juga menangis.”
Mukhawwal melanjutkan : “Kemudian aku keluar dari rumah lelaki itu
untuk menemui Bahim. Aku bertanya kepadanya setelah terlebih dahulu memberi
salam. “Bagaimana tentang teman perjalananmu ?” Beliau menjawab : “Sungguh, ia
teman yang terbaik. Ia banyak berdzikir, banyak membaca dan mempelajari Al
Qur’an , mudah menangis dan mudah memaafkan kesalahan orang lain. Semoga Allah
memberimu pahala kebajikan atas saranmu.” (Shifatush Shafwah III :
179-182)
Maraji': Disalin dari
terjemahan kitab “Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf” tulisan: Abdul Aziz bin Nashir
Al-Jalil Baha-uddien ‘Aqiel. Judul terjemahan : “Panduan Akhlak Salaf”,
penerjemah : Abu Umar Basyir Al-Medani, hal. 14-21. Penerbit : At-Tibyan, Solo,
2000.
1). Dalam “Shifatush shafwah” disebutkan
: Sallaam bin Al Ahwash. Yang betul adalah Sallaam Abul Ahwash. Lihat
“At-Taqrieb” biografi No.2703.Namanya adalah Sallaam bin Sulaim Al-hanafi al
Kufi, wafat tahun 179H.